Kamis, 24 November 2011

Manusia Paling Pemurah


Pada permulaan Islam, tepatnya pada zaman sahabat, sambil diniatkan i’tikaf, orang-orang yang berkumpul di sekitr kabah. Mereka saling berbicara tentang kebaikan.
Suatu hari, ada tiga orang yang berdebat mengenai orang yang paling dermawan di antara kaum muslimin.
Orang pertama berkata, “Manusia paling pemurah adalah Abdullah bin Ja’far.”
Orang kedua berkata, “Tidak bisa, manusia paling pemurah adalah Arabah Al-Ausi”
Orang ketiga berkata, “Kalian berdua keliru, manusia paling pemurah adalah Qaish bin Sa’ad.”
Tiga orang itu berselisih sengit. Suara mereka meninggi. Orang pertama kembali mengatakan dengan suara tegas, “Abdullah bin Ja’far yang paling pemurah!”
Orang yang kedua membantah, “Tidak bia, Arabah Al-Ausi lebih pemurah!”
Orang ketiga tidak terim, “Tak bisa di sangkal, banyak yang mengatakan Qaish bin Sa’ad manusia paling pemurah.”
Perdebatan mereka bertiga menarik perhatian banyak orang. Akhirnya, ratusan orang mengelilingi mereka bertiga. Orang-orang itu ingin mengetahui apa yang mereka perdebatkan.
Setelah tahu duduk persoalannya, mereka memberi saran, “Sebaiknya, kalian temui satu persatu ketiga orang yang kalian anggap paling pemurah itu. Ujilah mereka. Setelah itu, kembalilah ke sini. Beritahukan apa yang kalian saksikan, biar kami yang memutuskan siapa yang paling pemurah.”
Saran itu disetujui oleh ketiga lelaki itu.

***
            Lelaki pertama pergi ke rumah Abdullah bin Ja’far. Dia bertemu Abdullah di depan rumahnya. Saat itu, Abdullah sedang bersiap hendak menunggang untanya dan pergi ke kebunya.
Lelaki pertama berkata kepada Abdullah, “Wahai anak paman Rasulullah, aku seorang Ibnu Sabil, aku tidak mempunyai keluarga.”
Seketika itu, Abdullah bin Ja’far turun dari untanya dan berkata, “Naiklah unta ini. Ia menjadi milikmu. Ambillah kanting dan isinya yang ada di punggung unta itu. Ambil pula pedang ini. I ni adalah pedang Ali bin Abi Thalib.”
Lalu, lelaki pertama kembali ke Mekkah dan membuka kantongyang ada di punggung unta. Ternyata, kantong itu berisi pakaian dan uang dinar emas, yang sangat banyak, juga [edang milik Ali bin Abi Thalib.”
Lelaki kedua pergi ke rumah Qaisbin Sa’ad. Saat itu, Qais sedang tidur. Dia ditemui oleh pembantunya.
Dengan ramahnya, sang pembantu bertnya, “Qais sedang tidur. Apa yang kau inginkan?”
Dia menjawab, “Aku Ibnu Sabil, tidak punya keluarga.”
Pembantu Qais berkata, “Ambil kantong ini. Di dalamnya ada tujuh ratus dinar. Itu adalah semua harta yang ku  miliki. Biarlah, nanti aku bertahukan hal ini kepada Tuan Qais.”
Lalu, pembantu itu mengajaknya ke kandang unta dan meminta agar lelaki itu mengambil seekor unta yang disukainya.
Setelah mengambil seekor unta, lelaki itu mengucapkan terima kasih ke pada si pembantu, lalu pergi menuju ke Masjidil Haram.
Ketika Qais bangun, pembantunya itu mengabarkanya perihal lelaki tadi kepadanya. Qais senang dengan apa yang  telah dilakukan oleh pembantu itu. Dia berterima kasih dan mengganti uang tujuh ratus dinar yang diberikan kepada lelaki yang baru datang tadi.
Lelaki ke sampai ke kebah dengan membawa unta dan uang sejumlah tujuh ratus dinar.
Lelaki ketiga pergi ke rumah Arabah. Dia menjumpai arabah di depan rumah, saat Arabah hendak pergi ke masjid. Arabah adalah seorang yang buta. Dia bergantung kepada seorang budak yang membantunya mengantar ke masjid.
Lelaki bertiga itu berkata, “Hai Arabah, Aku Ibnu Sabil, dan aku tidak punya keluarga.”
Sekatika, Arabah menjawab, “Ambillah, budakku ini, dia satu-satunya harta yang ku miliki.”
Setelah memberikan budaknya, Arabah berjalan debngan meraba-raba dinding-dinding  menuju masjid. Sementara, lelaki ketiga membawa budak yang didapatnya dari Arabah ke Kabah.
Orang-orang burkumpul di sekeliling tiga orang itu. Mereka menceritakan apa yang mereka alami satu per satu.
Bagaimanakah akhirnya orang-orang itu memutuskan? Siapakah yang pling pemurah?
Orang-orang mengatakan, “Tiga orang itu semuanya sangat pemurah, tetapi Arabah adalah yang paling pemurah dan paling dermawan. Dia memberikan semua harta yang dimilikinya. Padahal, dia sangat memerlukanya, yaitu budak yang menuntun jalannya.
Sumber : Buku ketika cinta berbuah Surga karya Habiburrahman El Shirazy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar