Sabtu, 12 November 2011

Jujur itu Surga

Di pinggir kota Makkah, pada zaman ulama salafush shalih dulu, ada seorang lelaki miskin yang hidup dengan keluarganya. Lelaki itu bernama Amin. Meskipun miskin, Amin adalah orang yang jujur dan baik hati.
Suatu hari, dia mencari makanan di dapur. Perutnya terasa sangat lapar. Dia mencari , kalau-kalau ada sesuatu yang bias dimakan untuk mengganjal perutnya.akan tetapi, sunggih malang, dia tidak mendapat apa-apa. Bahkan, roti kering dan garam pun tidak ada. Amin bergegas membuka pintu hendak keluar rumah.
“Suamiku, apakah kau akan meninggalkan kami dalam keadaan kelaparan tanpa makanan?” Tanya istri sambil menggendong anaknya yang sedang sakit panas.
“Aku akan pergi ke Kabah untuk thawaf dan shalat disana. Aku akan berdoa agar Allah membuka pintu-pintu rezeki kita,” jawab Amin lembut.
Amin melangkah pergi ke Kabah.
Sesampainya di sana, dia thawaf tujuh putaran. Lalu, dia shalat dua rakaat di depan Maqam Ibrahim. Setelah itu, Amin berdoa dan menangis di Multazam, yang terletak antara Hajar Aswad dan pintu Kabah. Dalam doanya, dia meminyta kepada Allah agar diberi kemudahan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

***
Hari itu, masjidil Haram penuh oleh jamaah haji. Begitu selesai thawaf, shalat, dan berdoa, Amin Amin melangkahkan kaki menuju ke sumur zam-zam untuk minum. Dia  minum sekenyang-kenyangnya, sebagaimana diajarkan oleh Baginda Nabi. Air zam-zamlah yang selama ini setia mengisi perutnya yang lapar. Lalu, dia melangkah, berniat hendak keluar masjid hendak pulang.
Baru beberapa langkah, kakinya menyenggol sesuatu. Amin berhenti dan melihat apa yang diinjaknya. Ternyata, sebuah kantong berwarna hijau. Dia berjongkok untuk mengambil kantong itu. Setelah dibuka, kantong itu berisi uang dinar emas yang tidak sedikit jumlahnya. Lalu, Amin membawa uang itu ke rumahnya dengan hati berbung-bunga.
Begitu samapai di rumah, dia berkata pad istrinya dengan wajah gembira, “Lihat Istriku, apa yang aku peroleh hari ini? Lihatlah, aku membawa kantong penuh berisi uang dinar emas!”
“Dari mana kau dapatkan kantong berisi uang sebanyak itu?” istrinya langsung menyahut.
“Aku menemukannya di dalam Masjidil Haram,” jawab Amin
“Kalau begitu, cepat kau letakkan kembali kantong itu di tempatnya semula. Itu bukan uang milik kita. Itu harta orang lain. Orang yang kehilangan hartanya itu, saat ini pasti sedang sedih. Kantong yang kau temukan itu adalah amanah. Ayolah, cepatlah kau kembalikan kantong itu pada tempatnya. Kita harus jujur dan amanah. Lebih baik aku dan anak-anakki mati kelaparan daripada makan rezeki yang tidak halal!” ucap istrinya tegas.
Amin terkejut mendengar perkataan istrinya itu. Dia terhenyak sesaat. Namun, perlahan dia tersadar dan merasa apa yang diucapkan istrinya itu benar. Kantong itu bukan miliknya. Itu milik orang lain. Dia tidak berhak memilikinya.
Aminpun lantas teringat namanya. Ah, namanya saja Amin. Amin berarti orang yang dapat dipercaya, orang yang bias menjaga amanah. Dia harus benar-benar seorang Amin sepderti akhlak Baginda Nabi. Seketika itu juga dia langsung melangkah ke Masjidil Haram.

***

Begitu sampai di dalam masjid, Amin mendengar seorang jamaah haji memakai pakaian ihram, berteriak keras “Wahai hamba Allah sekalian, wahai jamaah haji, wahai para tetamu Allah, apakah diantara kalian ada yang menemukan kantong hijau milikku?”
Amin mendekat, lalu bertanya pada orang yang berteriak itu, “Apakah kau tahu isi kantong itu, Tuan Haji?”
“Ya aku tahu, di dalam kantong hijau itu berisi uang seratus lima puluh dinar,” jawab lelaki itu.
Mendengar jawaban itu,Amin yakin bahwa pak haji inilah pemilik kantong itu.
Dia mengeluarkan kantong itu dari balik bajunya dan memberikannya pada lelaki itu seraya berkata, “Kau benar, ambillah kantong ini! Inilah barang yang kau cari-cari itu.”
Pak haji menerima kantong itu dengan wajah cerah. Dia lalu menghitung isinya. Ternyata, isinya masih utuh, tidak berkurang satu keping pun.
Setelah itu, pak haji mengajak Amin duduk di tempat yang agak sepi dan berkata, “Saudaraku, kantong ini sekarang milikmu masih ada satu kantong lagi berisi seribu dinar untukmu.”
Amin terkejut mendengar parkataan lelaki itu.
Dengan nada bingung dan bertanya, “Bagaimana ini? Aku memberikan kantongmu, lalu kau malah bilang itu jadi milikku? Bahkan, kau menambah satu kantong lagi berisi seribu dinar? Aku sama sekali tidak paham maksudmu, Tuan Haji.”
Pak haji menjawab, “Harta ini diberikan kepada ku oleh seorang lelaki beriman dari Mesir. Dia mewasiatkan kepadaku, agar meletakkan sebagiannya di Masjidil Haram. Jika seseorang yang menemukannya dan dengan jujur dia mengembalikan kepadaku, aku disuruh memberikan seluruh harta ini kepadanya.”
Amin takjub mendengar perkataan lelaki itu.
Lalu dia bertanya, “Tetapi mengapa lelaki beriman dari Mesir itu memintamu untuk melakukan hal tadi?”
Pak haji menjawab, “Dia menginginkan sedekahnya sampai pada orang yang jujur dan amanah. Kamu telah mengembalikan kantong itu dengan penuh amanah. Siapapun yang bias menjaga amanah, berarti dia dapat dipercaya. Orang seperti itu, selain makan, ia juga akan bersedekah dengan apa yang ada padanya. Orang seperti itu tidak akan mementingkan dirinya sendiri. Dengan demikian, sedekah lelaki beriman dari Mesir ini akan diterima oleh Allah Swt.”
Akhirnya, pak haji itu benar-benar memberikan dua kantong uang kepada lelaki miskin bermana Amin itu. Dengan hati penuh dengan rasa syukur kepada Alllah, Amin pulang sambil membawa seribu seratus lima puluh dinar emas. Dia menyerahkan uang itu kepada istrinya tercinta sambil menjelaskan jalan ceritanya.
“Nah, sekarang , uang ini halal bagi kita. Ayo, kita membeli makanan dan pakain untuk anak-anak kita. Sudah dua hari mereka tidak makan. Jangan lupa, sedekahkan sebagian uang itu kepada orang-orang yang memerlukan,”kata istrinya lembut.
“Akan segera aku lakukan, Istriku,”jawab Amin.
Dia lalu bergegas ke luar rumah. Di halaman rumahnya, dia bersujud syukur. Keningnya langsung menyentuh tanah.
Dalam sujudnya, dia membaca tasbih dan berdoa, “Alhamdulillah, segala puji bagimu ya Allah, yang telah memberikan seorang istri shalihah kepadaku. Segala puji bagi-Mu ya Allah, yang telah memberikan hidayah kepadaku. Segala puji bagi-Mu ya Allah, yang telah mengalirkan rezeki sedemikian banyak kepadaku. Segala puji bagi-Mu ya Allah, atas segala nikmat yang Engkau karuniakan kepadaku.”
Setelah itu, Amin pergi ke pasar dan membagi-bagikan sedekah kepada Fakir miskin. Dia semakin sadar bahwa dengan meningggalkan rezeki yang haram, Allah menggantikan rezeki yang halal, dan jauh lebih banyak. Amin semakin yakin akan ajaran Rasulullah bahwa kejujuran adalah pintu menuju syurga, syurga di dunia dan di akhirat.



Dari cerita di atas kita tahu bahwa slalu berlaku adil bagi hambanya, Allah tidak perna mengabaikan hambanya yang berlaku jujur dan amanah, serta slalu menuruti perintah-Nya dan memjauhi laranganNya.



Sumber : ketika cinta berbuah surga, Habiburrahman El Shirazy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar